KASUS : KPU vs BAWASLU

Keinginan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) untuk ikut berlaga pada Pemilu 2014 rupanya kembali terhambat, setelah KPU menolak keputusan Bawaslu yang memenangkan gugatan sidang ajudikasi.

Sebelumnya, elite PKPI sempat bernapas lega ketika dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu dengan keputusan Bawaslu RI Nomor 012/sp-2/Sep.Bawaslu/I/2013 tentang lolosnya Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai peserta Pemilu 2014.

Dalam sidangnya, Bawaslu menetapkan, mengabulkan permohonan pemohon dan membatalkan Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu 2014, sepanjang untuk Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Indonesia. Menurut Bawaslu, keputusan ini bersifat final, dan KPU harus menjalankannya.

PKPI, pada verifikasi partai politik sebagai peserta pemilu, oleh KPU dinyakan tidak lolos, dan kemudian melakukan gugatan ke Bawaslu dengan membawa bukti-bukti.

ANALISIS KASUS

  • BAWASLU meloloskan PKPI sebagai peserta pemilu tahun 2014
  • Namun KPU menolak keputusan tersebut dengan alasan PKPI tidak memenuhi salah satu syarat yaitu tidak menyertakan sekurang-kurang nya 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik tingkat pusat.
  • Ternyata dalam kasus tersebut KPU maupun BAWASLU telah melakukan kesalahan
  • KPU telah mengeluarkan putusan Nomor 05/kpts/KPU/tahun 2013 tentang penetapan partai politik peserta pemilu tahun 2014 yaitu “Perubahan keputusan ini dapat dilakukan berdasarkan keputusan Badan Pengawas Pemilu atau putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 259 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 269 Undang-Undang nomor 8 tahun 2012.”
  • Sedangkan jika melihat pasal 259 ayat 1 uu no.8 tahun 2012 bahwa Bawaslu tidak mempunyai hak untuk menganulir hasil verifikasi partai politik.
  • Namun BAWASLU juga melakukan kesalahan yaitu menindaklanjuti keputusan tersebut
  • Bagi PKPI sebagai pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan atas kesalahan yang dilakukan oleh KPU dan BAWASLU ke Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP).

Proses Pengajuan Gugatan ke PTUN

A.    PENGAJUAN SURAT GUGATAN

Berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya, kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya gugatan harus memenuhi sebagai berikut :
1.      Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun kuasanya
2.      Syarat materil :
a.       Dasar gugatan / posita gugatan
b.      Tuntutan (petitumi)
Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN.
Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.
Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2 dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut :
a.       Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya
b.      Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan.
B.     PROSEDUR DISMISSAL
Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan.
Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya diatur dalam pasal 62 UU no 5 /1986/ dalam pasal 62 tersebut tidak mengatur secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan :
1.      Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim sebagai reportir
2.      Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau dilaksanakan secara singkat
3.      Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap perlu
4.      Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau tidak berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera
5.      Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk mendengarkannya.
Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya sebagai berikut :
1.      Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal diucapkan
2.      Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat
3.      Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa
4.      Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum
C.    PENUNDAAN
Menurut pasal 67 ayat 1 UU 5/1986 yang pada pokoknya bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan TUN serta tindakan badan atau pejabat TUN yang digugat. Apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka gugatan Penggugat (misalnya : perintah bongakt) yang tetap dilaksanakan sehingga untuk menggugat tidak ada artinya lagi. Oleh karena itu sebagai kompensasinya perlu adanya lembaga penundaan (vide pasal 67 UU 5/1986).
Permohonan penundaan terhadap pelaksanaan obyek sengketa oleh pihak penggugat dapat dilakukan dengan cara :
1.      Diajukan bersama-sama dalam surat gugatan
2.      Dibuat tersendiri tetapi pengajuannya bersama-sama dengan pengajuan surat gugatan,
3.      Diajukan pada saat proses gugatan berjalan, baik secara tertulis maupun lisan
Yang berwenang menerbitkan penetapan atas permohonan penundaan adalah :
1.      Apabila permohonan tersebut masih dalam tahap penelitian administratif dan proses dismissal maka yang berwenang adalah Ketua Pengadilan
2.      Apabila gugatan tersebut telah dilimpahkan kepada Majelis Hakim/Hakim maka yang berwenang adalah Majelis Hakim/Hakim
Upaya hukum atas penetapan penundaan, maka pihak tergugat menyampaikan sanggahan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim/Hakim, yang pada pokoknya bahwa tindakan tergugat mengeluarkan keputusan TUN tidak bertentangan dengan pasal 67 ayat 4 UU 5/1986.
Dalam praktek yang sering menimbulkan permasalahan adalah apabila pihak tergugat tidak mau melaksanakan penetapan penundaan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tembusannya kepada Ketua MARI, menteri Kehakiman (Kumdang), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI (Surat MENPAN no. B 471.4.1991 tanggal 28 Mei 1991 tentang pelaksanaan putusan Pengadilan TUN), sesuai yang tercantum dalam SEMARI no 2 tahun 1991.
D.    PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu :
1.      Pemeriksaan acara singkat
2.      Pemeriksaan acara cepat
3.      Pemeriksaan acara biasa
a.d.1. Pemeriksaan Acara Singkat
pemeriksaan acara singkat yang diperiksa bukan mengenai pokok sengketa, melainkan baru mengenai perlawanan sesuai yang diatur dalam pasal 62 dan 118 UU 5/1986, yang dapat disimpulkan bahwa pemeriksan dengan acara singkat dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a.       Gugatan perlawanan atas penetapan Ketua PTUN (pasal 62 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU no 5/1986)
b.      Gugatan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 118 UU 5/1986)
Acara pemeriksan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak penggugat asal maupun pihak ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang diatur dalam pemeriksaan cepat dan bisa, sehingga dalam praktek ada beberapa pendapat, ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam acara biasa. Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruang permusyawaratan dalam sidang yang tertutup dan para pihak diberi kesempatan untuk menanggapinya, sedang putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
a.       Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksan persiapan diatur dalam pasal 63 UU 5/1986, yang pada pokoknya bahwa sebelum pemeriksan pokok sengketa, Hakim wajib mengadakan pemeriksan persiapan guna melengkapi surat gugatan yang belum jelas. Hakim wajib memberi saran dan nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya dengan melegnkapi data-datanya dalam jangka waktu 30 hari, dan dimungkinkan meminta penjelasan dari pihak tergugat. Apabila dalam tenggang waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan dan menyerahkan perbaikan gugatan, maka dapat dinyatakn dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukumnya, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
UU No 5/1986 tidak mengatur tata cara pemeriksaan, oleh akrena itu untuk memenuhi kebutuhan praktek MARI telah mengeluarkan beberapa Surat Edaran dan Juklak, yaitu :
–          SEMARI no 2 tahun 1991 tanggal 9 juli 1991
–          Surat MARI no 052/Td TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992
–          Surat MARI no 224/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
–          Surat MARI no 222/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
Dari surat MARI tersebut dapat disimpulkan bahwa :
–          Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruang musyawarah dalam sidang tertutup bisa diruang Hakim dengan tanpa memakai toga
–          Pemeriksan dapat dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis
–          Dapat dilakukan mendengar keterangan Penggugat, tergugat serta Pejabat TUN lainnya atau pihak ketiga yang dianggap perlu.
b.      Persidangan Terbuka Untuk Umum
Dalam persidangan yang terbuka untuk umum dipimpin oleh Ketua Sidang, dan dalam proses pemeriksaan ini pada pokoknya ada beberapa tahap:
–          Tahap Jawab Jinawab, pada tahap ini terdiri pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik dan duplik
–          Tahap Pembuktian
Sesuai salah satu ciri khusus hukum acara Peratun, dimana peranan Hakim aktif karena dibebani untuk mencari kebenaran material (pasal 63, 80, 85, 95 dan 103 UU 5/1986), maka sistem pembuktian kepada pembuktian bebas yang terbatas.
Menurut pasal 107 Hakim menentukan apa yang dibuktikan beban pembukatian besrta penilaian pembukatian, tetapi dibatasi pasal 100 yang menentukan secara liminatif alat-alat bukti yang dapat digunakan, yaitu : surat atau tulisan, keterangan saksi ahli, saksi biasa, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim
Disamping itu dalam pasal 85 memungkinkan Hakim dapat secara aktif mencari bukti-bukti yang ada ditangan pejabat TUN.
Setelah tahap pembuktian selanjutnya adalah kesimpulan yang dibaut oleh masing-masing pihak, kemudian sebagai tahap terahkir adalah putusan yang cara pengambilan putusan diatur dalam pasal 97 dan bentuk serta isi putusan diatur dalam dan 109 ayat 1 UU 5/1986.
 
E.     INTERVENSI
Dalam rangka melindungi kepentingan pihak ketiga, maka dalam pasal 83 memberi kesempatan masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan. Pihak ketiga (intervent) yang mempunyai kepentingan dapat masuk dalam proses perkara bertindak sebagai :
1.      Pihak ketiga yang membela haknya atas perkara sendiri, dibedakan :
a.       Pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak. Apabila pihak ketiga atas kemauannya sendiri akan ikut berproses dalam perkara, sedang kepentingannya tidak paralel dengans alah satu pihak melainkan hanya memperjuangkan haknya (Tuussemkomt).
b.      Pihak ketiga yang dengan kemauannya sendiri akan masuk dalam perkara dan kepentingannya paralel dengan salah satu pihak maka akan bergabung dnegan salah satu pihak (Voeging)
2.      Masuknya pihak ketiga atas perkarsa salah satu pihak
Apabila dalam suatu perkara yang sedang berjalan para pihak merasa berkepentingan untuk menarik pihak ketiga agar menjamin/mendukung kepentingannya (Vrywaring). Disini kepentingan dari salah satu pihak paralel denagan kepentingan pihak ketiga.
3.      Masukknya pihak ketiga atas perkarsa Hakim
Apabila dalam proses pemeriksaan baik dari tahap dismissal, persiapan maupun persidangan penyelesaian inisiatif para pihak maka Hakim dalam rangka untuk mencapai penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta untuk memperoleh kebenaran material dan melindungi kepentingan pihak ketiga agar ditarik masuk sebagai pihak ketiga untuk bergabung denagn salah satu pihak atau berdiri sendiri.
Peraturan mengenai intervensi sangat minim dan bersifat umum sehingga dalam praktek timbul permasalahan dalam penerapan dan penafsiran pasal 83 khususnya bergabungnya pihak ketiga yang terdiri dari orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya paralel dengan tergugat dan berkedudukan sebagai tergugat intervensi.
Dalam praktek kebanyakan Hakim lebih cenderung memberi kesempatan pihak ketiga berkedudukan sebagai tergugat intervensi dengan pertimbangan dalam rangka penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta mencari kebenaran material serta memberi perlindungan kepada pihak ketiga akan tetapi kasuitis. Dan batas waktu mengajukan permohonan intervensi telah dipertegas dalam Juklak MARI no 52/Td. TUN/III/1992, yaitu pihak ketiga dapat masuk dalam suatu perkara sampai pada acara duplik.
F.     PUTUSAN
Dalam suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap akhir dari penyelesaian sengketa adalah putusan. Putusan merupakan hasil musyawarah majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum yang tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986.
Putusan pengadilan TUN dapat berupa :
1.      Gugatan gugur (pasal 71)
2.      Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77)
3.      Gugatan ditolak
4.      Gugatan dikabulkan
a.       Seluruhnya
b.      Sebagian
Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat berupaya :
1.      Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau
2.      Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru atau
3.      Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3
4.      Pembebanan ganti rugi
5.      rehabilitasi
perihal putusan yang sering menimbulkan maslah dalam praktek adalah menyangkut pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan tidak dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya secara administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 119).
Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) :
a.       Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya sendiri melaksanakan diktum putusan
b.      Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN, maka keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi
c.       Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani kewajiban selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN dengan surat resmi memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan. Jika tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan eksekusi melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada batas akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986).
Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121 UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.